Saturday, June 17, 2006

Lokakarya PPK di Serang, Banten ..

PERAN STRATEGIS KONSULTAN PPK MENDORONG
PROSES PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PERDESAAN SECARA PARTISIPATIF, TRANSPARAN DAN DEMOKRATIS DALAM KONTEKS OTONOMI DAERAH
[1]

Ibnu Taufan, IAP[2]

Pendahuluan

1. Saya ditugaskan oleh panitia untuk menjadi narasumber dengan topik bahasan Peran Strategis Konsultan PPK untuk mendorong Proses Pemberdayaan Masyarakat Perdesaan secara Partisipatif, Transparan dan Demokratis dalam konteks Otonomi Daerah. Topik yang luas dan memiliki multi interpretasi, sebagian masih menjadi debat yang belum juga berakhir, tetapi sebagian diantaranya memang sangat dikenal dan menjadi misi kegiatan yang sama-sama kita emban. Untuk itu, ijinkan saya membatasi topik bahasan tersebut, atau mengajak kita semua memfokuskan pada yang patut menjadi misi dan perhatian kita bersama, sehingga topik bahasan akan diarahkan pada pembahasan “Peran Strategis Konsultan PPK untuk Mendorong Pelembagaan (institusionalisasi) Proses PPK menjadi Model Pembangunan Partisipatif.

2. Sesungguhnya pada awal pelaksanaan PPK, pikiran-pikiran mengenai “model pembangunan partisipatif” sudah diperkenalkan para “founding father” program pemberdayaan masyarakat dan pengentasan kemiskinan, termasuk PPK diantaranya. Model pembangunan partisipatif dipandang dan diyakini sebagai upaya untuk meningkatkan kepercayaan (desentralisasi) kepada masyarakat local untuk mengelola pembangunan (di perdesaan) dalam wadah kelembagaan lokal yang ada di perdesaan ataupun kecamatan (Gunawan Sumodiningrat, 1999). Model pembangunan partisipatif menekankan pada upaya pengembangan kapasitas masyarakat, dan memberdayakan kelembagaan masyarakat untuk berperan dalam proses pembangunan ( perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan pengawasan, serta pelestarian).

3. Model pembangunan partisipatif juga mulai “diadopsi” secara meluas, antara lain dapat dilihat dari upaya untuk mengembangkan “forum pembangunan partisipatif” pada berbagai aras pembangunan sebagai “mekanisme pembangunan nasional” (Dep.Dalam Negeri, 2002).

4. Sementara itu, otonomi daerah memang telah memberikan legitimasi bagi partisipasi masyarakat dalam mengelola sumberdaya alam dan pengelolaan pembangunan sehingga hasil-hasilnya dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat --- meskipun implikasinya dengan pelaksanaan otonomi daerah ini maka pemerintah daerah memiliki “kewenangan” dan “sumberdaya” sehingga akan lebih berperan dalam menentukan kebijakan pembangunan!

5. PPK yang merupakan penyempurnaan berbagai kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat, dengan prinsip dan mekanismenya memperkuat tuntutan partisipasi, transparasi dan akuntabilitas ---- sebagai langkah awal atau inspirasi-inspirasi menuju “demokratisasi pembangunan ataupun desentralisasi demokratis” (Cahyo Suryanto, 2002.)

6. Pokok pikiran ini dilandasi dengan “apa” atau pengalaman yang sudah dipupuk selama PPK berlangsung, serta di telaah “apalagi kekurangan” yang perlu diperbaiki untuk memenuhi tuntutan peran dimasa depan; selanjutnya fokus pembahasan ingin juga diarahkan sebagai reorientasi konsultan pendamping PPK dari sekedar “mengawal dan memfasilitasi kebijakan PPK” menuju “pelembagaan proses, prinsip, dan mekanisme PPK menjadi proses pembangunan partisipatif”

7. Salah satu prasyarat penting untuk mendorong semua pelaku PPK siap untuk “melakukan reformasi diri” adalah dengan membangun kesadaran individual dan kesadaran kolektif bahwa “pekerjaan sebagai konsultan PPK bukan pekerjaan sepanjang masa” tetapi “peran sementara” yang harus dikontribusikan agar ikut mewujudkan “pelembagaan” ataupun “pengembangan kapasitas kelembagaan dan kapasitas pelaku utama”. Dengan demikian, peluang sebagai “profesi konsultan pendamping” berpotensi untuk terus dikembangan, diperluas dan sudah tentu harus ditingkatkan”.


Konsultan PPK dan Peranannya
dalam Transformasi Sosial menuju Masyarakat yang Mandiri

8. Dengan beragam definisi dan pengertian yang dikembangkan dari berbagai perspektif, boleh jadi “masyarakat mandiri” merupakan bagian dari “civil society” atau (kadang-kadang disebut juga) “masyarakat madani” --- mulai definisi yang cukup ekstrim: “ …..masyarakat yang mempunyai kemandirian dan terbebas dari hegemoni negara “, sampai pada pemaknaan sesudah era reformasi yang lebih komprehensif, dimana makin terbukanya peluang warga masyarakat melaksanakan kebebasan berpolitik, membentuk asosiasi sosial, adanya perlindungan hukum, serta tata pergaulan antar-masyarakat maupun dengan negara (pemerintah) semakin terbuka, bebas dan demokratis, berani meminta pertanggung-jawaban, melakukan kontrol (Kutut Suwondo, 2002).

9. Banyak pengamat dan pakar menyatakan bahwa dominasi negara (pemerintah) terhadap “civil society” semakin berkurang, akan tetapi terdapat gejala mencemaskan yakni terjadi “dominasi pasar” (rezim pasar bebas), dimana dengan penegakan hukum yang amat lemah akhirnya menjadi destruktif, yaitu dalam bentuk memaksakan kehendak kelompok tertentu, tuntutan pergantian pejabat public, usaha-usaha yang melanggar hukum, dan usaha-usaha memperkuat ikatan primordial (kedaerahan, suku, agama).

10. Dalam kaitan tersebut, perlu redefinisi dan reaktualisasi terhadap “civil society” agar memperjelas arah mencapai “masyarakat mandiri” yang dicita-citakan, yaitu warga masyarakat yang memiliki kebebasan mengekspesikan haknya dengan batas-batas yang tegas, kepatuhan pada hukum dan norma-norma masyarakat, menghargai hak azazi manusia, menghargai inklusifitas dan mengedepankan solidaritas (warga-bangsa);

11. Masyarakat mandiri ialah suatu kondisi dimana masyarakat sebagai pelaku kunci pembangunan mempunyai peran dominan dalam menentukan kebutuhan, dengan memutuskan sendiri pilihan untuk mengatasi persoalan yang dihadapi dan menentukan pilihan dan tindakan politik dan ekonomi untuk mengembangkan potensi yang dimiliki --- sekurang-kurangnya dalam komunitas ataupun perdesaan!

12. Upaya menuju masyarakat mandiri melalui pendekatan dan strategi pembedayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat pada hakekatnya ditujukan untuk melepaskan belenggu kemiskinan dan keterbelakangan, serta memperkuat posisi lapisan masyarakat dari struktur kekuasaan. Upaya pemberdayaan memiliki 3 dimensi, pertama, menciptakan iklim yang memungkin potensi masyarakat dapat dikembangkan (enabling), kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat (empowering), ketiga, melindungi masyarakat yang lemah dan tidak berdaya atau keberpihakan.

13. Untuk mencapai sasaran melalui ketiga dimensi tersebut, diperlukan (konsultan) pendamping untuk membantu masyarakat dalam pengorganisasian diri, membantu masyarakat untuk mengembangkan potensi dan mengatasi masalah, dan pendamping dituntut untuk berperan sebagai motivator, dinamisator, komunikator dan fasilitator.

14. Banyak pandapat sinis yang ditudingkan kepada (konsultan) pendamping, yaitu hanya sebatas meningkatkan kesejahteraannya, sehingga sering melaksanakan tugas dengan “mekanistik”, bahkan ada pendapat provokatif yang menyatakan (konsultan) pendamping sebagai “robot” yang melaksanakan seluruh “ritual prosedur proyek” ---- sangat kurang melakukan “transformasi sosial”

15. Lantas apakah “transformasi sosial” itu ?? Menurut beberapa pakar, termasuk mendiang Mansur Faqih, bahwa “transformasi sosial adalah proses perubahan sosial dan politik” mampuan transformasi sosial perlu dipahami dan dikuasai oleh (konsultan) pendamping untuk membangun kesadaran bersama guna mengenali struktur atau tatanan untuk mewujudkan pembangunan partisipatif, dan membangun struktur yang memberikan kesempatan yang luas kepada berbagai pelaku dan pihak terkait untuk melaksanakan tugas dan tanggung sesuai dengan kompetensi masing-masing sehingga proses pembangunan partisipatif dapat berlangsung kearah mewujudkan masyarakat mandiri!

16. Apa tugas dan tanggung jawab Konsultan PPK ?? --- sangat luas dan kompleks, tetapi terutama adalah:
  • penyebaran informasi dan sosialisasi prinsip, mekanisme, prosedur dan ketentuan PPK
  • memfasilitasi forum atau pertemuan : perencanaan, pelaksanaan, dan pelestarian --- pengelolaan konflik/masalah atau pengaduan/keluhan!
  • memfasilitasi dan membimbing pelaksanaan kegiatan dan prosedur PPK
  • mengelola dan memfasilitasi pelatihan-pelatihan bagi pelaku PPK dan masyarakat
  • memfasilitasi dan memotivasi pelaku PPK di desa/masyarakat untuk menegakan prinsip-prinsip: transparansi, partisipasi, akuntabiltas, dstnya
  • melaksanakan pemantauan, evaluasi dan pelaporan, dstbnya, dstnya.
17. Peran konsultan pendamping di masa depan --- dengan melembaganya proses pembangunan (perencanaan) partisipatif, diharapkan untuk:
  • Memahami dan meningkatkan kemampuan serta “seni membangun partisipasi” --- kalau yang hadir pada pertemuan “sedikit” harus membangkitkan pertanyaan: “ kemana yang lain”, “apakah mereka sudah tahu ??” , “apakah mereka sudah mendapatkan informasi ..?
  • Memahami dan memiliki kemampuan metodologis/konsepsual untuk memotivasi masyarakat serta mengenal persoalan pokok, potensi, dan juga alternatif tindakan atau skenario masa depan;
  • Memahami dan mendalami ketrampilan untuk menyiapakan dokumen perencanaan/pembangunan, termasuk produk hukum (legal drafting) yang diperlukan pada aras perdesaan untuk mengikat para pihak terkait di perdesaan (Perdes; Keputusan MAD, RAPBDes, dstnya)
  • Mengembangkan kemampuan dan menempatkan posisi sebagai “mediator” berhubungan dengan “pihak-pihak di luar” masyarakat/ perdesaan;
  • Membangun sinergi dengan berbagai pihak sehingga diperoleh pola interaksi yang adil, harmonis, dan setara;
  • Menguasai dan mampu melakukan alih pengetahuan dan teknologi (iptek) guna menjembatani masyarakat tempatan memasuki abad persaingan yang makin ketat dan tidak mengenal batas wilayah;
  • Mendorong pengorganisasi masyarakat (community organizing) agar secara kolektif lebih mampu memecahkan persoalan dan kebutuhannya;
Strategi untuk Meningkatkan
Peran Konsultan PPK dalam mendorong Pemerintah
menciptakan Kebijakan yang berpihak kepada Rakyat

18. Kebijakan dan program pengentasan kemiskinan memang telah menurunkan jumlah penduduk miskin secara absolut, tetapi ternyata masyarakat miskin masih rentan sehingga krisis ekonomi malah terjadi proses yang terus membuat masyarakat miskin tetap (makin) miskin, jumlah penduduk miskin terus meningkat dan sumber-sumber pendapatan semakin surut dan jumlah pengangguran pun terus meningkat.

19. Krisis ekonomi dan politik semakin membuat parah kondisi masyarakat miskin, menuntut kepedulian dan keberpihakan pemerintah terhadap masyarakat miskin dengan mempertajam prioritas pada kebutuhan mendesak dan strategis untuk memperkuat kemampuan masyarakat miskin dan marginal (pro poor), melalui program-program yang pembangunan yang berbasis dan digerakan oleh masyarakat (community demand driven), yang memberikan masyarakat kesempatan untuk mengelola pembangunan, menentukan pilihan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidupnya.

20. Dengan pengarus-utamaan (mainstreaming) kebijakan dan program-program yang berpihak kepada rakyat miskin, yaitu pembangunan yang berasal dari rakyat, dilaksanakan oleh rakyat dan sepenuhnya ditujukan bagi kepentingan rakyat, sehingga sebagai (konsultan) pendamping PPK yang sesungguhnya mengusung salah satu prinsip utama PPK, yaitu “keberpihakan terhadap (orang) rakyat miskin”, seyogyanya dapat melaksanakan peran untuk:
  • Memperkuat komunikasi horizontal – lateral, dengan berbagai pihak terkait, khususnya masyarakat miskin, untuk membangun posisi tawar masyarakat miskin sehingga dapat melaksanakan partisipasi yang lebih luas dan bebas menentukan pilihannya (open menu) berdasarkan kebutuhan (persoalan dan potensi);
  • Mengembangkan komunikasi vertikal dengan pihak eksekutif melalui hubungan jalur struktural yang sudah dikenal dan dengan pihak legislatif (DPRD) yang sudah terlaksana sejak PPK-1
  • Mengembangkan jejaring dengan berbagai lembaga dan lintas pelaku untuk memupuk sinergi dalam upaya pemberdayaan masyarakat miskin;
  • Mendorong upaya untuk memperluas forum koordinasi dan forum komunikasi sebagai “forum lintas pelaku” : pemerintah daerah, konsultan pendamping, lembaga swadaya masyarakat, lembaga legislatif (DPRD) dan dunia usaha ----untuk melakukan dialog, saling belajar, berbagi informasi, alih pengalaman dan tukar pendapat--- tiada hari tanpa belajar dan tiada kegiatan yang tidak menjadi wahana pembelajaran;
  • Memperluas forum komunikasi lintas wilayah melalui jejaring konsultan pendamping yang tersebar di seluruh lokasi PPK --- untuk melakukan dialog, saling belajar, berbagi informasi, alih pengalaman dan tukar pendapat

21. Langkah dan cara-cara untuk meningkatkan peran konsultan tersebut dapat dilakukan dengan mengaktualisasikan seluruh tugas, tanggung jawab dan kegiatan dimasa depan, yaitu kembali ke khitah dengan melalui :
  • Meningkatkan pemahaman metodologi perencanaan partisipatif, khususnya yang dipergunakan untuk penggalian gagasan PPK (social mapping) yang merupakan adaptasi dari PRA, RRA dan sebagainya ---- tidak sekedar “formalitas dan ritual program”, tetapi menjadi indikator kunci merumuskan program yang berpihak atau untuk kepentingan rakyat miskin;
  • Memastikan agar penggalian gagasan memang berpedoman pada “peta sosial” dan berorientasi pada penanggulangan kemiskinan;
  • Memastikan agar verifikasi usulan dilaksanakan sebagai upaya menilai “kelayakan usulan” (teknis, sosial, ekonomi dan lingkungan) dan terwujudnya konsultasi dialogis dengan (calon) penerima manfaat sehingga menghasilkan “daftar kebutuhan” yang sesuai dengan “peta sosial” yang disepakati;
  • Bersikap kritis dan korektif, untuk senantiasa mencermati gejala dan kecenderungan munculnya usulan-usulan yang tidak “berbasis pada kebutuhan rakyat miskin”
  • Menegakan prinsip kompetisi yang sehat, dan mengelola secara cermat setiap konflik kepentingan yang muncul, sehingga seluruh “aspirasi dan kebutuhan” dapat dikomunikasikan pada MD atau MAD
  • Membangun dialog (melalui jalur structural, dalam hal ini TK-PPK) dengan pihak eksekutif (instansi dan dinas terkait) dan pihak legislatif (DPRD), untuk mengkomunikasikan “aspirasi dan kebutuhan” –masalah, potensi dan seknario masa depan—yang diabstraksikan dari proses pembangunan partisipatif, yang berasal dari rakyat, (akan) dilaksanakan oleh rakyat, dan sepenuhnya ditujukan untuk kepentingan rakyat.

Catatan Penutup

22. Arah yang dituju sesungguhnya sudah tepat dalam periode internalisasi dan institusionalisasi konsultan pendamping menempatkan diri untuk memfasilitasi perkuatan partisipasi masyarakat dan menjadi mitra bagi pemerintah untuk mengkomunikasikan kebijakan publik --- kedua peran tersebut tidak mungkin dilakukan secara parsial, tetapi harus secara simultan dan terintegrasi dengan pertimbangan yang komprehensif;

23. Patut mengakomodasi atau mendorong dibangunnya persepsi bersama atas misi “good governance” yaitu memperluas komunikasi yang setara (demokrasi !) antar pelaku pembangunan (pemerintah daerah, swasta dan masyarakat; serta membangun kapabilitas setiap unsur atau pelaku pembangunan tersebut (pemerintah, swasta dan masyarakat) untuk mengelola pembangunan partisipatif, dan distribusi barang dan jasa publik dengan efektif. ---- di era pemilihan langsung nanti, belum ada jaminan semua kesepakatan dan partisipasi masyarakat dapat diwujudkan mengingat “bupati atau gubernur” cenderung akan mewujudkan “janji politis” kepada rakyat pemilih !!!

24. Memfasilitasi kolaborasi antarsemua pelaku pembangunan, yang menekankan pada kerjasama dan proses pembelajaran dari elite masyarakat dan elit pemerintah, kepada kelompok marjinal terutama kelompok yang paling miskin yang memang menjadi “kelompok sasaran” PPK (P.Healy, 1977 dan J.Friedman, 1987) --- patut dihargai inisiatif pemerintah daerah untuk memperluas cakupan pemberdayaan “perempuan kepala keluarga yang sangat miskin”

25. Mewaspadai kecenderungan “partisipasi berpeluang menjadi tirani !” —karena partisipasi juga bisa menjadi wahana untuk memfasilitasi penerapan kekuasaan secara tidak adil dan tidak absah, partisipasi justru menghegemoni pengetahuan local dan memperdaya masyarakat --- ranah yang harus dihindari dan bahkan ditentang oleh konsultan pendamping PPK.

24. Proses pembangunan partisipatif merupakan arena pembelajaran untuk mengubah hubungan kekuasaan yang tidak seimbang dalam pengelolaan urusan publik, dan menempatkan masyarakat, terlebih kelompok masyarakat miskin yang seringkali memiliki posisi tawar yang lemah, ke posisi sentral dalam proses pengambilan keputusan pembangunan.

[1] Makalah disampaikan pada Lokakarya Membangun Sinergi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam Menyukseskan Program Penanggulangan Kemiskinan secara Partisipatif, Transparan, Demokratis menuju Masyarakat Mandiri, Carita-Banten, 18 Maret 2004
[2] Team Leader KM-Nasional PPK

Seputar Otonomi

OTONOMI DAN PERMASALAHANNYA[1]
Ibnu Taufan[2]


Pendahuluan
Otonomi selalu dikaitkan dan erat dengan desentralisasi. Otonomi adalah “hak untuk mengatur diri sendiri” dan desentralisasi adalah penyerahan kewenangan untuk melakukan tugas dan tanggung jawab.

Pelaksanaan otonomi dan desentralisasi ini sesungguhnya sudah diawali pada era Orde Baru, persisnya tahun 1995, dimulainya uji coba pelaksanaan otonomi di 26 kabupaten percontohan. Kemudian tahun 1997 diperluas uji coba tersebut di 68 kabupaten/kota (43 kabupaten dan 25 kotamadya). Konon “keinginan” untuk memberikan otonomi sudah dimulai sejak tahun 1992 dalam bentuk Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 1992 tentang Titik Berat Otonomi pada Daerah Tingkat II.

Pemerintahan Habibie melakukan “lompatan besar” demi menyelamatkan kelangsungan hidup bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan mengajukan RUU Pemda yang akhirnya menggantikan UU Nomor 5 Tahun 1974 sehingga pada tahun 1999 diundangkan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Lahirnya kedua UU tersebut merupakan tonggak perubahan dari sentralistik menjadi desentralistik.

Ketika gagasan perubahan tersebut, khususnya keinginan untuk meningkatkan kewenangan kepada pemerintah daerah dan masyarakat, lahir ketika perekonimian terpuruk akibat krisis ekonomi dan keuangan global. Pemerintah Orde Baru telah gagal membaca perubahan dan kecenderungan global, akibatnya terlalu banyak waktu habis mengurus dampak krisis yang parah, masalah domestic yang seharusnya dapat diurus oleh pemerintah daerah terbengkalai. Krisis kepercayaan terus melorot, dan kebijakan public selalu terlambat. Kegagalan dan kelambanan tersebut juga masih diwarisi ketika pemerintahan sudah beralih dari Habibie kepada Abdurahaman Wahid. Banyak peraturan perundang-undangan yang merupakan penjabaran dan pedoman pelaksanaan otonomi dan desentralisasi tidak terlambat ditetapkan, sehingga akhirnya terjadi “improvisasi” pelaksanaan otonomi dan desentralisasi.

Konsep dan Prinsip Dasar
Pada hakekatnya otonomi dan desentralisasi adalah memberikan kepercayaan dalam penyelenggaraan pemerintahan lokal dan pelayanan masyarakat, sehingga pemerintah pusat lebih memusatkan tanggung jawabnya urusan strategis untuk kompetisi global. Visi pelaksanaan otonomi daerah mencakup dimensi politik, ekonomi dan sosial budaya. Dimensi politik bermakna otonomi daerah adalah kesempatan membangun system dan pola karir politik, administrasi yang kompetitif, serta system manajemen pemerintahan yang efektif. Dimensi ekonomi, maka otonomi juga bermakna menjamin kelancaran pelaksanaan kebijakan ekonomi nasional di daerah, dan sisi lain terbuka peluang mengembangkan kebijakan regional dan lokal, serta optimalisasi pendayagunaan potensi ekonomi di daerah. Dimensi social dan budaya, dengan otonomi lebih menjamin nilai-nilai lokal dan kearifan budaya yang kondusif berhadapan dengan dinamika kehidupan. Berdasarkan dimensi tersebut, konsep dan prinsip dasar yang menjadi landasan lahirnya UU Nomor 22 tahun 1999, yang antara lain (Ryaas Rasyid, 2001 dan Djohermansyah Djohan, 2003) : (i)-penyerahan kewenangan sesuai dengan ruang lingkup pemerintahan, (ii)- penguatan legislatif, (iii)-penyesuaian tradisi politik dengan kultur setempat, (iv)-efektifitas fungsi pelayanan masyarakat, (v)-efisiensi administrasi keuangan, (vi)-desentralisasi fiskal, (vii)- pemberdayaan lembaga/pranata lokal, (viii)- partisipasi masyarakat, keikutsertaan dalam pengambilan keputusan, (ix)- transparansi dan akuntabilitas, semua pengelolaan pembangunan harus dipertanggungjawabkan.

Implementasi dan Dampak
Ada empat aspek masalah berkaitan dengan impelementasi dan sekaligus dampak pelaksanaan otonomi daerah (Syamsuddin Haris (ed), 2002) : (i) aspek instrumental, beberapa pasal UU 22/1999 yang memerlukan peraturan pelaksanaan, (ii) aspek struktural, meliputi faktor-faktor: penyesuaian menyangkut kewenangan, kelembagaan, personil dan sarana pendukung, (iii) aspek kultural, berkaitan dengan perilaku dan budaya birokrasi menghadapi tuntutan perubahan, (iv) kelangkaan sumberdaya. Keempat aspek tersebut saling kait-berkait sehingga menimbulkan dampak dan ekses yang simultan.

Dari keempat aspek permasalahan tersebut, beberapa faktor permasalahan yang seringkali menjadi keluhan publik, seperti: pelaku bisnis, kalangan akademisi, masyarakat awam, bahkan aparat pemerintah sendiri, dan sering ditemui dalam praktek birokrasi, yang akan sangat panjang jika seluruhnya didaftarkan, dan beberapa diantaranya ialah:

(1)- terlambatnya peraturan pelaksanaan dan produk pengaturan, beberapa pasal dalam UU Nomor 22 tahun 1999 maupun UU Nomor 25 tahun 1999 tidak segera siap ketika implementasi kebijakan desentralisasi ini dimulai pada 1 Januari 2000, akibatnya pemerintah daerah tidak memiliki pedoman untuk melaksanakan berbagai pelayanan pemerintah, termasuk mencabut beberapa produk pengaturan yang yang bertentangan dengan kedua undang-undang tersebut. Bahkan ketika DAU dibagikan belum diketahui besaran beban pelimpahan kewenangan kepada daerah, akibatnya terjadi transfer yang berlebihan dengan kemampuan pengelolaan tugas desentralisasi.

(2)- kelangkaan sumberdaya, beberapa wilayah memang dikaruniai sumberdaya alam yang melimpah, tetapi banyak juga wilayah yang tidak memiliki sumberdaya alam, bahkan sebagian kawasan tandus dan tidak subur, prasarana dasar pun sangat kurang. Perbedaan tersebut membuat kesenjangan antar daerah, sehingga kapasitas fiskal pun tidak sama diberbagai wilayah. Sumberdaya manusia yang menjadi pelaku pembangunan masih banyak yang rendah tingkat pendidikan, jika memiliki pendidikan dan kemampuan lebih baik, seringkali memilih untuk tinggal dan bekerja di pusat-pusat kegiatan utama (Jakarta, Bandung, Makassar, Medan, dsbnya). Ketika dilimpahkan kewenangan otonomi, pamerintah daerah tidak siap, sehingga banyak tugas pelayanan masyarakat tidak ditangani. Mulai dari konflik pertanahan, kebakaran hutan, pengelolaan pertambangan, perijinan investasi, dampak perusakan lingkungan, serta pemilihan kepada daerah, sekarang ini menjadi tanggung jawab pemerintah daerah.

(3)- regulasi yang tidak kondusif untuk dunia usaha, akibat tidak adanya pedoman untuk melaksanakan keweanangan dalam pengaturan, maka pemerintah daerah mengambil inisiatif untuk “ambil bagian” dalam proses pembangunan, jalan paling pintas dan mudah adalah dengan melakukan regulasi dunia usaha, berupa Ijin Lokasi, Ijin Usaha, Ijin Penggunaan Bangunan, Ijin Sewa Rumah dan perjinan lainnya yang dipandang dapat “menghasilkan” pendapatan bagi daerah.

(4)- intensifikasi/ekstensifikasi Pendapatan Asli Daerah, pada saat ini kontribusi PAD rata-rata dalam APBD berkisar 3-5%, lebih dari 95% sumber pembiayaan tergantung pada transfer fiskal (DAU, DAK, BPHTB), sehingga banyak kabupaten/kota dengan mengacu pada UU No.34 tahun 2000 jo PP Nomor 65 tahun 2001 dan PP nomor 66 tahun 2001 pemerintah daerah menghidupkan kembali pungutan-pungutan yang telah dihapus/dilarang dengan UU Nomor 18 Tahun 1997, dan disisi lain taxing power (kewenangan perpajakan) sangat terbatas, hanya dari pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, pajak reklame, pajak penerangan jalan, pajak bahan galian C dan pajak parkir, yang kontribusinya maih sangat rendah. Akibatnya muncul berbagai pajak dan retribusi yang memberatkan kehidupan masyarakat, serta ujung-ujungnya juga akan mengurangi minat investasi.

(5)- etnosentris/primordial, akibat kungkungan kekuasaan pusat yang terlalu lama, kebebasan yang diberikan melalui otonomi akhirnya menyuburkan persoalan etnosentrisme dan primordialisme, yakni yang lebih mendahulukan kepentingan lokal, sampai menguatnya keinginan mengutamakan putera asli daerah (“PAD “). Ini memang gejala yang sangat wajar, yang dapat dijelaskan dari kondisi obyektif yang terjadi ketika pemilihan umum 1999 yang menjadi mobilisasi putera daerah menjadi anggota legislatif, dengan tingkah laku politik yang beroreintasi pada primordialisme. Beberapa gejala lanjutan juga terjadi dalam hal : (i) pemekaran wilayah, kecendrungan setiap kumpulan etnik menuntut wilayah administrasi, beberapa bahkan sempat menimbulkan konflik horizontal (Kabupaten Polewali Mamasa, Kecamatan Malifut, Malifut-Maluku Utara), (ii) pemilihan kepala pemeritahan (gubernur/bupati) yang harus “PAD”, (iii)- pengisian badan legislative yang harus “PAD”, (iv)-rekrutmen birokrasi lokal yang harus “PAD”, serta (v) kebijakan lokal: ambil alih aset perusahaan (Semen Padang, Sumatera Barat) , pembatasan mobilitas pendatang (Kotawaringin Barat), penutupan jalan lintas tambang/perkebunan (Kalimantan Timur).

(6)- dokumen rencana pembangunan, hamper setiap kabupaten/kota memiliki rencana pembangunan (Rencana Tata Ruang Wilayah, Rencana Strategis Kabupaten/Kota, dsbnya) tetapi kebanyakan hanya memuat “angka-angka potensi” dan “daftar keinginan” tanpa strategi yang jelas dan terarah sebagai pedoman untuk “mengelola tanggung jawab desentralisasi”. Dokumen rencana pembangunan yang ada juga belum memberikan kesempatan kepada masyarakat dan desa (yang juga memiliki otonomi asli) menyampaikan aspirasi dan kebutuhan pembangunan.

Harapan
Otonomi dan desentralisasi harus menjamin terus bergeraknya perubahan atau reformasi. Bermacam penyimpangan dalam implementasi dan praktek sebagai akibat dari persiapan yang kurang matang, maupun akibat terbenamnya prakarsa masyarakat, masih banyak harapan dapat dipercayakan pada keberlanjutan otonomi dan desentralisasi. Untuk mendukung perubahan dari “trading regime” menuju “industry regime” ataupun memperkokoh arsitektur dan struktur perekonomian yang berdayasaing global, perlu diperjuangkan: (1)- Saat ini terdapat sekitar 415 kabupaten/kota (1999: 314 kabupaten/kota) yang menjadi tumpuan lokasi kegiatan pembangunan dan/atau investasi, yang juga merupakan potensi pasar -- ini akan menjadi kekuatan yang sangat besar jika dapat mengumpulkan “sinergi kekuatan” mendorong pergeseran dari “trading regime” menuju “industry regime”, dan; (2)-Memfasilitasi kerjasama antar kabupaten (baik yang kaya maupun yang kekurangan) melalui kegiatan investasi lintas wilayah –interegional linkage— serta jejaring kegiatan produktif yang saling berhubungan sehingga menjadi “pasar yang sangat potensial”.





[1] Paparan pada DiskusiArsitektur Perekonomian Nasional: Trading Regime vs Industrial Regime, Reuni 3 Dekade ITB74, 7 Agustus 2004, Hilton Hotel, Jakarta.
[2] Alumnus PL-ITB/National Management Consultants-Kecamatan Development Program