Friday, July 16, 2010

Berbagi Pengalaman Belajar Perencanaan Bersama Masyarakat

Tersesat ke Jalan yang Benar !


Saya seperti orang yang tersesat ke jalan yang benar ! Lebih dari 15 tahun saya praktek sebagai planner atau sarjana planologi yang konon katanya ahli perencanaan kota dan wilayah, melulu membantu birokrasi untuk merencanakan wilayah/kota atau mengembangkan sistem yang obyeknya kegiatan untuk kepentingan pemerintah (sektoral). Masyarakat selalu jadi obyek dan seringkali saya bersama teman2 planner atau disiplin ilmu lainnya, diberikan hak istimewa oleh kerangka acuan atau pedoman, seolah tahu persis kebutuhan dan kemauan masyarakat. Dalam konteks perencanaan misalnya, seolah2 saya yang paling tahu dan tak perlu mendengar harapan atau mimpi masyarakat yang "menguasai" bahkan yang memiliki (lahan) wilayah yang jadi obyek perencanaan. Apakah ini jalan profesi yang benar ? Untuk siapa "rencana" atau sistem pengaturan yang saya (dan teman2) susun dengan memanfaatkan konsep, teori, model, pendekatan yang canggih ? Apakah untuk birokrasi yang katanya mendapat mandat dari rakyat ? Saya tergugah juga menyadari produk rencana dan sistem pengaturan yang dikerjakan dengan energi luarbiasa, lebih banyak menjadi tumpukan dokumen menghias lemari arsip. Beruntung kalau ada satu dua tabel atau sebaris paragraf yang dikutip jadi keputusan yang bermanfaat bagi masyarakat.

Pada kurun 80an, saya mencermati banyak didengungkan pendekatan "people centered development" yang meramaikan khazanah proyek sektoral. Mulai ada upaya untuk "lebih mendengarkan kemauan dan kebutuhan masyarakat". Semakin banyak yang mulai memanfaatkan social capital sebagai elemen penting untuk pembangunan (meski masih dominan pembangunan fisik). Beberapa teman yang bekerja diluar struktur industri jasa konsultan, yang langsung bersentuhan dengan masyarakat melalui pengorganisasian yang berbeda (contoh misalnya, NGO atau LSM) juga memberikan inspirasi keberhasilan yang lebih baik. Proyek yang dilaksanakan lebih menjamin adanya rasa memiliki masyarakat (community ownership), juga semakin besar peluang untuk mewujudkan prinsip keberlanjutan (sustainability).

Sampai akhirnya tahun 1998 saya memulai langkah baru, bekerja dan tepatnya belajar pendekatan community driven development yang diperkenalkan melalui Kecamatan Development Program. Beberapa pihak juga menyebut sebagai community planning karena peran konsultan (tepatnya fasilitator) ialah membantu dan memudahkan masyarakat (community) untuk menyusun perencanaan pembangunan (planning). Keputusan ini tentu harus diikuti dengan perubahan mind set, karena paradigma pun agak berbeda dengan yang ditekuni selama ini. Setelah menekuni selama satu tahun atau satu siklus kegiatan saya harus bersyukur telah "tersesat di jalan yang benar"


Apa yang diperoleh selama "tersesat di jalan yang benar" ? Wah luar biasa banyak. Terutama pengakuan dan penghargaan non material. Program yang saya geluti sejak 1998 ini menempatkan lebih dari satu pendamping yang disebut fasilitator di setiap kecamatan (untuk wilayah perkotaan satu tim fasilitator terdiri 4-5 orang mendampingi 7 sd 9 kelurahan/desa) Dengan pola pendampingan tersebut, fasilitator membantu dan memudahkan masyarakat/warga desa untuk menyusun rencana pembangunan, dimana sebagian alokasi dana sebagai stimulan sudah disediakan (hibah) oleh pemerintah. Pembangunan dilaksanakan sendiri oleh masyarakat (swakelola) dan juga diawasi oleh masyarakat dengan membentuk kelompok-kelompok masyarakat yang dilatih untuk tugas2 tersebut. Memang masih ada yang mutu hasil pembangunan kurang memadai tetapi tidak sedikit yang hasilnya (misal, pembangunan jembatan, jalan ataupun pelayanan air bersih) lebih baik dan lebih murah dibandingkan pembangunan yang dikelola instansi sektoral ataupun dilaksanakan oleh kontraktor. Pembangunan jalan baru untuk membuka isolasi dusun/desa yang terpencil tidak pernah ada biaya ganti rugi lahan, masyarakat/wargadesa pun membuat peraturan lokal untuk mengelola arus lalu lintas yang menggunakan jalan poros tersebut. Pelayanan air bersih yang bisa lebih menghemat dan meningkatkan waktu produktif masyarakat karena air bersih tersedia dekat, bahkan di halaman rumahnya; yang semula harus mengambil air dengan berjalan kaki 2-3 km.


Banyak sekali capaian yang saya yakin bisa membuat kita semua tercengang. Dari sekian yang bagus, saya terkesan pada saat kunjungan ke Kabupaten Bintan, Provinsi Kepri. Teman-teman fasilitator mengajak untuk melihat dari dekat pembangunan dermaga atau tambatan perahu di Kampung Nelayan Beloreng, Desa Tembeling, Kecamatan Teluk Bintan. Sepintas bangunan sederhana yang dibuat sebagian besar dari kayu lokal dengan nilai sekitar 130 juta rupiah. Saya menjumpai beberapa nelayan lokal yang sedang mengemasi perlengkapan melaut. Saya tanyakan, selain dari pekerjaan swakelola yang dilaksanakan sendiri oleh masyarakat, apa manfaat tambatan perahu ini untuk bapak-bapak nelayan ? Dengan antusias tiga orang bapak paruh baya menjelaskan, bahwa sebelum ada tambatan perahu ini, setiap nelayan harus "menyeret" perahu sejauh 1 sd 2 km yang memakan waktu lebih dari 100 sd 120 menit untuk mencapai kedalaman perairan agar bisa berlayar ke laut lepas. Petang hari, meski saat air mulai pasang, mereka masih harus menyeret perahu sekitar 200 sd 500 m dengan waktu tempuh sekitar 60 menit untuk mencapai tempat untuk menambatkan perahu mereka. Dengan adanya tambatan (dermaga) perahu, mereka bisa langsung melaut dan menambah waktu produktif. Biasanya hanya memperoleh sekitar 0.5 sd 1.0 kg ikan, setelah difungsikannya tambatan perahu perolehan mereka bisa dua kali lipat, bahkan yang lebih berani ke laut lepas tidak kuatir dengan cuaca ataupun beratnya menyeret perahu sehingga bisa memperoleh sekitar 3 sd 4 kg ikan. Dengan jumlah nelayan dari Desa Tembeling yang mencapai 200 orang, bisa dibayangkan berapa peningkatan produksi yang dapat dicapai.

Pengalaman lain yang juga menyenangkan ketika bertemu ketua kelompok masyarakat dan perangkat desa di Desa Jati, Kec.Kao Halmahera Utara, Provinsi Maluku Utara; yang dengan bangga menuturkan bahwa selama tiga puluh tahun membantu pembangunan desa, baru kali inilah, melalui pembelajaran yang difasilitasi oleh fasilitator, mereka bisa mewujudkan mimpi warga menjadi rencana pembangunan, dan lebih membanggakan lagi utusan warga juga diundang mengikuti musyawarah di desa bahkan musyawarah di kecamatan untuk membahas usulan2 yang sudah mereka miliki
.

Duduk bersama wakil2 kantor bupati atau kabupaten (maksudnya, dalam forum musrenbang) menjelaskan kebutuhan yang disepakati warga dan tertuang dalam rencana pembangunan desanya. Pengalaman menarik dapat menyimak cerita warga dengan penuh kebanggaan adalah kepuasan yang sukar dinilai dengan materi apapun.

Mendorong perubahan,  responsif pada aspirasi warga !
Seperti sudah dijelaskan, pada kurun waktu dasawarsa terakhir saya berkiprah di pemberdayaan masyarakat (community driven development), tugas saya tepatnya mengelola sebuah kelompok bantuan teknis untuk memberikan dukungan manajemen dan teknis kepada fasilitator yang memberikan pendampingan kepada masyarakat/wargadesa yang menjadi pelaku utama program. Salah satu prinsip penting program ini adalah memberikan 'desentralisasi' atau kepercayaan kepada masyarakat untuk mengambil keputusan melalui musyawarah warga, mulai dari perencanaan sampai dengan pelaksanaan (konstruksi) kebutuhan yang disepakati musyawarah warga. Ternyata dengan kewenangan tersebut warga cenderung berfikir sangat "inward looking", memang wajar jika hanya untuk memenuhi kebutuhan (seringkali fisik) desa atau komunitasnya. Akhirnya yang disepakati selalu usulan (sub project) yang skala komunitas atau dalam desa saja. Hanya sedikit sekali yang sudah melihat dengan "outward looking" dan percaya bahwa dengan membangun interdependensi juga penting, berfikir jauh kedepan juga penting, juga penting berfikir untuk menyelesaikan persoalan yang menyebabkan desa tetap terisolasi dan menjadi tetap miskin. Dari proses partisipatif itu selalu muncul usulan yang sangat "inward looking" dengan wujudnya hanya jalan lingkungan dusun/desa, sarana air bersih untuk desa itu saja atau seringkali hanya memberikan manfaat sosial untuk desa/dusun.Satu pengalaman lapang yang mengesankan ketika membantu teman-teman jejaring fasilitator di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang saat itu sedang menata kembali kehidupan warga setelah bencana gempa dan tsunami Desember 2004. Selang dua minggu setelah peristiwa tragis itu, saya dan beberapa teman mengunjungi lokasi2 bencana di Kecamatan Leupung, Aceh Besar. Sebagian besar desa-desa di kecamatan pesisir ini luluh lantak dengan korban jiwa yang amat banyak. Kami mendatangi wargadesa yang menempati tenda pengungsian. Pada suatu tenda yang relatif besar kami dapati warga bersama tokoh warga sedang melaksanakan musyawarah gampong (gampong ialah nama lain desa di Aceh) dipimpin keuchik (kepala gampong). Dari salah satu dialog yang amat menarik ialah keputusan warga yang dibacakan oleh keuchik: "..jika kami diiijinkan kembali membangun desa kami, maka setiap rumah wajib menanam pohon cemara, dan setiap anggota keluarga wajib menanam pohon kelapa...itulah yang telah menyelamatkan banyak bangunan rumah saudara-saudara kami ketika bencana tsunami.. Kami sudah beranak pinak berada di pesisir, dengan itulah kami menjaga rumah2 dan anak cucu kami..juga menjaga desa-desa tetangga dimana tinggal juga kerabat kami !" Saya dan teman-teman yang tidak sengaja hadir dalam musyawarah warga tersebut tertegun dan akhirnya sepakat bahwa itulah  village visioining yang sebenarnya. Warga menyadari persoalan luar biasa yang baru saja dihadapi, dan merentang mimpi untuk membangun kembali desa atau gampong mereka. Bagi saya, kesadaran tersebut juga membangun pengertian penting perihal organisasi ruang atau spatial yang harus dilindungi bersama guna menjamin kehidupan jangka panjang, anak cucu dan kerabat mereka.

Dari hasil refleksi dengan pelaku2 di lapangan, disepakati untuk mulai berfikir outward looking, berorientasi pada masa depan atau impian untuk mengembangkan desa, berbasiskan persoalan yang menjerat dan semakin membuat warga miskin, juga mempertimbangkan potensi (SDA dan SDM) untuk mengembangkan desa. Melalui diskusi dan debat yang konstruktif akhirnya disepakati untuk merumuskan kerangka berfikir mengembangkan "village visioning" atau yang akhirnya disepakati menjadi "Menggagas Masa Depan Desa" (MMDD). Wargadesa difasilitasi untuk bermimpi seperti apa yang diharapkan desa mereka pada 5 atau 10 tahun mendatang, masalah kronik apa yang perlu diatasi segera agar mimpi bisa diwujudkan. Potensi apa yang dimiliki agar dapat mengerahkan sumberdaya untuk mewujudkan mimpi2 itu ...Juga merancang strategi untuk melaksanakan, mendayagunakan swadaya dan mengakses berbagai sumber dana lain (APBD, swasta, dll), serta bagaimana merawat/memelihara hasil-hasil pembangunan.

Sebagai pendamping atau pun konsultan, saya dan teman2 bukan penentu kebijakan, ada pemangku kepentingan dan tentu juga penentu kebijakan yang harus diyakinkan untuk mendukung gagasan tersebut. Upaya yang melelahkan, meski konsep tersebut dimengerti, tetapi tidak segera mendapat persetujuan. Sambil menunggu keputusan, saya dan teman2 menjabarkan gagasan tersebut menjadi panduan dan modul untuk membantu pemahaman penguatan kapasitas fasilitator, karena diharapkan konsep MMDD tersebut tetap harus berasal dari, dilaksanakan oleh dan dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai "dokumen perencanaan pembangunan desa". Akhirnya tanpa keputusan resmi, gagasan tersebut, proses dan langkah fasilitasi maupun format dokumen tersebut "resmi" tertuang sebagai bagian dari pedoman pelaksanaan program. Sampai akhirnya, dalam PP 32/2005 yang merupakan penjabaran UU 30/2004 tentang Pemerintah Daerah, pada salah satu pasal mewajibkan desa untuk menyusun RPJM Desa (rencana pembangunan jangka menengah desa) yang substansi, format maupun pemanfaatan tidak berbeda dengan MMDD. Sehingga, jika proses penyusunan MMDD difasilitasi dengan baik, dengan mudahnya dapat dikembangkan menjadi masukan utama RPJM Desa.

Pembelajaran bagi Alumni Planologi dan Jurusan Planologi

Seperti kebanyakan teman-teman pada masa kuliah, terutama di Planologi, agak sukar membayangkan produk yang bisa menjadi ukuran keberhasilan lulusan planologi seperti profesi lainnya. Entahlah, apa karena begitu membingungkan banyak alumni memilih jalur paling aman menjadi PNS, salah satu pasar kerja yang siap menerima lulusan planologi. Pilihan lain, memasuki pasar industri jasa konsultan yang ujung2nya juga melayani kepentingan pemerintah. Dalam pada itu, mata kuliah inti di planologi memang menekankan pentingnya "proses perencanaan", tetapi sering lupa di dunia nyata ada "proses politik" yang bisa menentukan "hitam putih" kebijakan publik, dan ini beriringan dengan proses (pembiayaan dan politik) anggaran.


Dua pertiga perjalanan karir saya di industri jasa konsultan memang penuh ketidakpastian. Jika tahun ini berkiprah untuk "perencanaan tata ruang", mungkin tahun berikutnya (terpaksa) ikut berkiprah di "perencanan sektoral". Organisasi profesi pun belum sepenuhnya berperan menjaga apalagi meningkatkan kompetensi anggota. Akibatnya profesi sebagai planner pun lemah posisi tawarnya, tidak sedikit yang (terpaksa) menerima imbalan yang kurang pantas, dan ujung2nya mustahil mengharapkan tanggung jawab profesional menghasilkan karya bermutu atau produk2 perencanaan yang mudah diimplementasikan. Tidak sedikit produk perencanaan (tata ruang misalnya) yang hanya memenuhi lemari arsip instansi pemerintah daerah.


Pembelajaran untuk Planologi
! Kredo –from-by-for the people-, tampaknya masih relevan dan perlu diperkaya dengan best practices maupun lesson learned yang mudah ditemukan selama dua dasawarsa terakhir. Saya tidak mengikuti perkembangan terkini kurikulum dan silabi di planologi, dan saya percaya dengan semakin banyak pengajar yang menimba ilmu di mancanegara, ataupun yang memberikan bantuan teknis kepada pemerintah (daerah/pusat) maupun dunia usaha bisa memetik pelajaran penting agar kurikulum dan produk jurusan planologi lebih adaptif terhadap perubahan kebijakan maupun lingkungan. Dengan terus menjaga orientasi dan kredia diatas, melengkapi kurikulum dan silabus dengan orientasi atau berpihak kepada masyarakat sehingga model planning participatory harus lebih diperdalam, bahkan diperkaya dengan metode2 untuk community planning (PRA, RRA, ZOFF, dsbnya). Jika perlu pengetahuan dan ketrampilan tersebut menjadi bagian "core competence" setiap lulusan planologi. Pendekatan "komprehensif" maupun "holistik" yang sempat menjadi mantra perencaaan bagi lulusan planologi, akan lebih ampuh jika dilengkapi dengan matra yang lebih teknis, misalnya menyangkut kelembagaan atau pun pembiayaan. Rencana bagus hanya bisa menjadi dokumen birokrasi, lemah pelembagaannya apalagi aspek alternatif pembiayaan. Planologi perlu melengkapi kompetensi lulusannya dengan nasehat sederhana "think globally, act locally".

Saya memang sempat merasa tersesat di dunia pemberdayaan masyarakat
, namun saya harus bersyukur pernah mendapat pengetahuan dasar perencanaan (wilayah dan kota) yang punya orientasi kuat '-dari,oleh dan untuk masyarakat' menjadi bekal kompetensi saya untuk terus menapaki kiprah didunia "community planning" ... dan ternyata terbuka peluang besar bagi planner (dan barefoot planner ?) yang percaya bahwa dengan memberdayakan masyarakat, dengan meningkatkan kapasitas masyarakat dalam perencanaan (tata ruang) akan lebih mudah upaya mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan, yang memperhatikan sumber daya manusia, sebagaimana amanat UU No.27 tahun 2007.

Jakarta, 14 Oktober 2009

Nama saya, Ibnu Taufan. Laki-laki pastinya, resminya angkatan 1974. Saat ini bertempat tinggal di Jakarta Selatan yang paling selatan. Pekerjaan sekarang sebagai Team Leader Konsultan Manajemen Pusat (KMP) Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM) untuk wilayah perkotaan (PNPM Mandiri Perkotaan) yang sebelumnya dikenal dengan sebutan P2KP (Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan). Baru enam bulan bergabung dalam posisi ini, sebelumnya sejak 1998 (sd 2009) bekerja untuk program yang serupa di Departemen Dalam Negeri, Ditjen Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD), tepatnya untuk Program Pengembangan Kecamatan (PPK) yang sejak tahun 2007 juga dieskalasi menjadi PNPM Mandiri Perdesaan.
Kedua program tersebut mencakup seluruh wilayah Indonesia. Untuk PNPM Mandiri Perkotaan ada di 33 provinsi yang tersebar di 287 kabupaten/kota, dan 10.014 kelurahan/desa. Adapun PNPM Mandiri Perdesaan (2008) mencakup 32 provinsi (Jakarta tidak termasuk), 375 kabupaten dan 2449 kecamatan yang melayani masyarakat di 33.000 desa. (tahun 2009: 32 provinsi, 375 kabupaten, 4352 kecamatan, 39.000 desa).

Wassalam,

IBNU TAUFAN
http://ibnutaufan.blogspot.com
IPPMI I Ikatan Pelaku Pemberdayaan Masyarakat Indonesia I
IACED I Indonesia Association for Community Empowerment and Development I
0816-940978 
I @ibnutaufan I Planner; Community Development